Selasa, 04 Oktober 2011

Hasil Dari Ketentuan dan Kreativitas

TETANGGA sebelah kanan saya adalah seorang tukang jahit. Dia bilang ayahnya, kakek dan neneknya dan para leluhurnya juga tukang jahit. Sudah berpuluh-puluh tahun menjadi tukang jahit. Kondisi kehidupannya tidak kaya, juga tidak miskin. Cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Walaupun kalau ada biaya yang cukup besar terpaksa harus cari utangan.
Anehnya, jahitan yang digarapnya adalah order tetap dari seorang juragan. Dengan upah fix cost per satu pakaian Rp 15.000 dari 15 tahun yang lalu tidak juga ada perubahan sampai sekarang. Sepertinya merupakan hal yang tabu kalau harus menawar tarif karena dari dulu sudah diberi order tetap. Mereka beranggapan order tetap itu adalah bentuk dari kemurahan dan kebaikan hati sang juragan.
Sementara tetangga sebelah kiri saya juga tukang jahit. Bedanya, dia sekolah tukang jahit di kota besar selama satu tahun. Selain menjahit, juga belajar pola dan desain. Yang dia kerjakan bukan hanya menerima orderan dari seseorang, tapi dia sendiri kadang-kadang mencari orderan. Tarif yang ditawarkan bermacam-macam, kalau hanya menjahit pakaian dengan pola yang sudah ada bisa murah. Kisaran Rp 50.000 saja. Tapi kalau mau membuat pakaian dengan jenis yang lain ada dua harga, pertama harga menjahit dan kedua harga membuat pola sesuai pesanan. Harga membuat pola bisa 3-5 kali lipat harganya.
Pekerjaan tetangga saya yang kedua ini belum lama dilakukan. Dia berprofesi sebagai tukang jahit sejak 3 tahun yang lalu. Sebelumnya dia adalah seorang marketing yang berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain. Tapi karena perusahaannya bangkrut, dia alih profesi menjadi tukang jahit. Uang pesangonnya digunakan untuk kursus menjahit dan membuat pola. Bisa dibandingkan, tetangga kedua mendapatkan penghasilan jauh lebih besar daripada tetangga yang pertama.
Apa perbedaan penjahit pertama dan penjahit yang kedua? Saya menilai penjahit pertama adalah tipe orang yang tekun, sabar dan nrimo. Sehingga pekerjaan yang sudah dilakoninya sejak berpuluh-puluh tahun terus diwariskan ke generasi berikutnya. Tapi memang tukang jahit pertama miskin kreativitas. Sementara tukang jahit yang kedua adalah tipe orang yang kreatif. Dia tidak mau menerima keadaan yang itu-itu saja, dia belajar berbagai macam hal. Bila mendapatkan order atau membeli barang, kalau bisa ditawar kenapa tidak. Tipe yang kedua ini dikategorikan sebagai penjahit yang kreatif sekaligus tekun. Tekun karena dia juga menjalaninya dengan serius, tidak dikerjakan asal-asalan.
Di zaman yang serba berubah seperti sekarang ini, ketekunan saja tidak cukup. Memang ketekunan adalah modal awal untuk mencapai tujuan. Tapi ketekunan tanpa kreativitas bisa benar-benar berbahaya. Mengapa berbahaya? Kalau mengambil contoh tukang jahit di atas, bila suatu saat tidak ada order menjahit maka mereka bisa-bisa tidak bisa mendapatkan uang, tidak bisa makan dan akibat-akibat lainnya, karena keterampilan mereka hanya satu. Sementara sikap orang kreatif bila terjadi perubahan situasi ekonomi apakah bentuknya sepi order atau hal lainnya, mereka akan mencari jalan keluar dan belajar hal baru. Sehingga walaupun sepi order di bisnis pertama, dia masih bisa melangsungkan pekerjaannya di bisnis yang lain.
MELATIH KREATIVITAS
Kreativitas itu tidak bisa muncul sendiri, perlu dilatih, diasah dan dilakukan secara terus menerus. Kreativitas itu pekerjaan otak kanan seperti berimajinasi, membayangkan gambaran-gambaran baru, memvisualisasikan ide-ide spektakuler. Bahkan mengabaikan istilah tidak mungkin. Semuanya bersifat mungkin, kalau orang lain bisa melakukan, dirinya juga bisa melakukan juga. Kalau dalam imajinasi masih tergambar, suatu ketika bisa terwujud. Orang-orang Jepang adalah salah satu contoh orang yang memiliki kualitas mental tekun dan kreatif. Tekun karena mau melakukan satu pekerjaan sampai selesai, kreatif karena selalu mencari inovasi baru dari waktu ke waktu. Tidak heran kalau produk otomotif seperti motor dan mobil lahir dari tangan-tangan putera negeri Jepang.
Mengapa Jepang sampai memiliki mental seperti itu? Banyak faktor yang menyebabkannya. Faktor alam cukup dominan, di sana tidak ada sawah, ladang, hutan yang hijau. Jangan harap bisa menanam singkong di Jepang. Gempa bumi pun menjadi langganan Jepang karena letak geografis negeri tersebut berada tepat di antara lempengan bumi. Tapi kondisi yang sulit tersebut memaksa mereka untuk berpikir keras untuk mencari jalan keluar. Dan betul, jalan keluar ditemukan. Pikiran kita bekerja sesuai dengan program si empunya. Bila si empunya pikiran menyuruh untuk mencari solusi atas satu persoalan, jawaban atas persoalan tersebut segera ditemukan. Sebaliknya bila pikiran dibiarkan tidur dan “nganggur” tidak akan ada hasil apapun.
Tengoklah negara Indonesia yang hijau, subur, menanam singkong langsung jadi. Kondisi alamnya benar-benar memanjakan. Nganggur pun masih bisa makan, apakah dengan tebal muka ikut orangtua terus atau meminta kepada teman. Bahkan tidak sedikit yang sudah menikah masih tinggal bersama orangtua dengan berbagai macam alasan, baik alasan ekonomi atau alasan psikologi kangen orangtua.
Terlepas dari alasan apapun dengan berbagai macam pembenarannya, kondisi di Indonesia seperti itu memunculkan sikap miskin kreativitas, tidak berani dengan risiko, comfort zone dan mencari aman. Paradigma yang muncul adalah lebih baik tetap dengan kebiasaan lama walaupun penuh dengan risiko buruk, tapi risiko itu sudah diketahui sejak lama. Orang malas resikonya tidak punya penghasilan banyak, tapi tetap malas karena risikonya sudah diketahui. Sementara untuk melompat keluar zona nyaman risikonya ada dua, gagal dan berhasil. Kalau berhasil tidak ada masalah baru, tapi kalau gagal ini yang repot. Sementara kegagalan di luar zona nyaman sama sekali belum diketahui risikonya akan seperti apa. Demikian kira-kira mengapa paradigma comfort zone senantiasa dipertahankan.
Pertanyaan yang sering dilontarkan adalah, bagaimana supaya bisa keluar dari zona nyaman? Bisa dilakukan dengan dua cara. Cara pertama adalah dengan sungguh-sungguh memaksakan diri keluar dari kebiasaan lama sambil belajar. Ini dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kesadaran bahwa hidup ini harus berubah terus kalau ingin tetap survival dan selalu bisa menjawab tantangan yang muncul. Sementara cara kedua dengan tingkat risiko yang lumayan tinggi, bisa berhasil bila disikapi secara positif dan bisa juga gagal bila disikapi negatif. Caranya adalah mengalami persoalan hidup yang berat, apakah di-PHK, rumah kebakaran, merantau keluar kota, orangtua yang menjadi tumpuan meninggal atau kena tipu orang sehingga kekayaannya ludes. Yang berpikir positif akan memulai lagi dari nol dan terus berjalan sambil terus menerus belajar. Yang menyikapi secara negatif, kejadian tersebut dianggap sebagai kiamat dunia yang membuatnya frustrasi, gila bahkan bunuh diri.
Banyak contoh kasus orang-orang yang berhasil melampaui persoalannya. Hellen Keller misalnya, adalah contoh sukses dari orang yang buta dan tuli. Tapi mengapa dia berhasil menempuh pendidikan sampai tingkat Doktor dan menjadi orang yang memiliki kepedulian tinggi pada orang buta dan tuli. Thomas Alfa Edison yang tuli bisa menjadi tokoh besar dalam sains dan contoh-contoh konkret lainnya.
Tidak ada kaitan antara cacat fisik dengan kesuksesan. Kalau mereka yang cacat bisa sukses, mengapa kita yang memiliki struktur fisik yang normal sangat cengeng dan mudah menyerah. Di sinilah perbedaan mental baja dan mental kerupuk. Dan itu perlu latihan terus menerus untuk memiliki mental baja patang menyerah, apapun tantangan yang muncul bisa dihadapi dengan senyuman.
Penulis : Ade Asep Syarifuddin

Tipe Manusia Dalam Menghadapi Tantangan Hidup Di Dunia

Hidup tidak bisa lepas dari berbagai tekanan, namun semua kesulitan merupakan kesempatan bagi jiwa kita untuk dapat tumbuh. Tekanan-tekanan itu sesungguhnya dapat dilihat sebagai sebuah dorongan/stimulus yang membentuk watak, karakter, dan sekaligus menentukan bagaimana seseorang bereaksi terhadap sebuah kejadian di kemudian hari. Berikut ini adalah empat tipe manusia dalam menghadapi tekanan:


Tipe pertama, tipe kayu rapuh.
Sedikit tekanan saja membuat manusia jenis ini patah arang. Ketika menemui kesulitan ia langsung mengeluh, merasa tidak berdaya, menangis, minta dikasihani atau minta bantuan. Tipe kayu rapuh ini perlu berlatih agar dapat berpikiran positif dan berani menghadapi kenyataan hidup. Dalam menghadapi mereka, sesekali waktu kita harus lebih berani tega karena mereka kadang perlu dilatih untuk belajar menghadapi kesulitan. Posisikan diri kita sebagai pendamping mereka.

Tipe kedua, tipe lempeng besi.
Tipe ini biasanya mampu bertahan mengahadapi tekanan awal. Namun seperti layaknya besi, ketika situasi menekan itu semakin besar dan rumit, ia mulai bengkok dan tidak stabil. Manusia tipe ini mampu mengahadapi tekanan, tetapi tidak dalam kondisi berlarut-larut. Tambahan tekanan sedikit saja membuat mereka menyerah dan putus asa. Untungnya, manusia tipe ini masih mau mencoba bertahan sebelum akhirnya menyerah. Tipe lempeng besi memang masih belum terlatih. Tapi, kalau mau berusaha, tipe ini akan mampu membangun kesuksesan dalam hidupnya.

Tipe ketiga, tipe kapas.
Tipe ini cukup lentur dalam menghadapi tekanan, saat tekanan tiba, manusia tipe kapas ini mampu bersifat fleksibel. Cobalah Anda menekan sebongkah kapas. Ia akan mengikuti tekanan terjadi. Ia mampu menyesuaikan saat terjadi tekanan, tapi setelah berlalu, dengan cepat ia bisa kembali ke keadaan semula. Ia bisa segera melupakan masa lalu dan mulai kembali ke titik awal untuk memulai lagi.

Tipe keempat, tipe manusia bola pingpong.
Inilah tipe yang ideal dan terhebat. Tekanan pada tipe ini justru membuat mereka bekerja lebih giat, lebih termotivasi dan lebih kreatif. Coba perhatikan bola pingpong, saat ditekan, justru ia memantul ke atas dengan lebih dahsyat.
Termasuk tipe manakah Anda?

Sikap Anak Terhadap Kedua Orang Tua

SIKAP ANAK TERHADAP ORANG TUA BERMASALAH*
Selama ini yang sering kita dengar dalam setiap pengajian/ceramah yang berisi mengenai sikap anak terhadap orangtua selalu sama, yaitu menjadikan anak sebagai subyek dengan kata lain anak yang harus menjaga sikapnya. Anak harus hormat, mematuhi dan bersikap yang baik-baik (lisan/perbuatan) kepada orangtua.
dahal dalam kenyataan yang sering terjadi dalam kehidupan nyata ini banyak sekali seorang anak kebingungan atau sulit bersikap terhadap orangtuanya, terutama bagi mereka yang yang orangtuanya bermasalah.
Bagaimana sikap anak terhadap ayah yang memukuli ibunya? sementara ayah sudah tidak dapat dikendalikan/dinasehati !!! Apakah sang anak harus diam melihat hal tersebut karena jika melawan akan dikatakan durhaka sementara ibu tersiksa lahir dan batinnya.
Hal tersebut diatas sering kita lihat dan dengar disekililing kita, bahkan ada seorang anak kelepasan tangan memukul ayahnya untuk membela ibunya yang dianiaya ayahnya.Jika kita lihat hadist Rasul bahwa ibu 3x lebih harus kita hormati dari ayah apakah dibenarkan anak melawan ayahnya untuk membela ibunya yang teraniaya ?
Kebanyakan orang tua (ortu) ternyata otoriter. Menurutnya, segala perkataannya harus diikuti anaknya. Padahal ortu yang baik itu di samping sbg pelindung dan pembimbing, mestinya juga harus menjadi teman yang baik (yang bisa diajak diskusi dlm membicarakan cita-cita, misal) bagi anaknya.
Juga perlu dibedakan antara nasehat dan saran/usulan. Nasehat itu meliputi nilai-nilai yang prinsipil (sesuai logika), dan moralitas atau norma-norma agama, seperti kedisiplinan, kejujuran, tanggung-jawab, keseriusan, harga-menghargai, hormat-menghormati, dll.
Dan saran/usulan berkaitan dengan cita-cita, bidang studi yang hendak di tekuni, dll.
Jadi, seorang anak dikatakan membantah nasehat ortu jika ia tidak menaati nilai-nilai moralitas yang disampaikan ortunya. Adapun soal pilihan cita-cita, pilihan jodoh, dll yang berkaitan dengan masa depan si anak ortu tidak boleh memaksakan kehendaknya. Bila si anak sudah mantap pada suatu pilihan (yang tidak ada jeleknya sedikitpun menurut norma apapun), dan konsekuen atas pilihan tersebut (berani bertanggungjawab), ortu tinggal memberikan usulan-usulan dan bimbingan yang mendukung pilihan si anak.
Dalam hal ini ortu juga tidak bisa memaksakan usulan-usulannya. Bila si anak mempunyai pendapat yang lebih mantap dan yakin bisa mempertanggungjawabkannya, ortu tidak boleh mengendorkannya.
Diskusi soal pilihan ini tergantung pada kekuatan argumen-argumen yang rasional, dan yang jelas tidak boleh menyalahi norma-norma agama. Demikian soal pendidikan anak. Format interaksi ortu-anak seperti di atas bila keduanya tetap pada rel-rel agama dan logika. Jika salah satunya menyalahi agama, maka pertanda olengnya bahtera rumah tangga.
Terlebih jika yang melakukan kesalahan adalah ortu, bagaimana sikap si anak?
Dilihat-lihat, bila si anak sudah menjadi dewasa dan merasa mampu –secara fisik dan mental– mengatasi ortu-nya sendirian tanpa melibatkan orang luar, maka lebih baik diatasi sendiri.
Tapi jika tidak mampu, segeralah minta tolong orang lain. Bahkan kalau urusannya sudah gawat sekali, sudah masuk kategori pidana misal, lebih baik lapor ke pihak yang berwajib (polisi).
Yang jelas, harus segera diupayakan agar jangan terjadi korban. Pada kasus di atas, tentu si anak sebisanya menyelamatkan ibunya, namaun jangan ikut-ikutan kehilangan kesabaran dengan membalas dendam, apalagi sampai membunuh bapaknya.naudzu’billah

Renungan Anak Kepada Kedua Orang Tua

Bakti Kepada Ayah dan Ibu

Mendukung ayah dan ibu adalah berkah utama.

Dalam kehidupan sehari-hari, seseorang belum tentu menjadi ayah atau ibu dari anak-anaknya, namun ia pasti telah menjadi anak dari orangtuanya. Memang, setiap orang pasti dilahirkan oleh orangtua. Ia dilahirkan dengan wajah sempurna maupun buruk, badan lengkap maupun cacat, semua itu adalah pemberian orangtua yang tidak boleh disia-siakan. Menurut Dhamma, dengan seseorang terlahir sebagai manusia, ia mempunyai kesempatan besar untuk mendengar serta melaksanakan Buddha Dhamma sehingga ia mencapai kesucian. Oleh karena itu, menyadari bahwa badan yang sangat bermanfaat ini adalah pemberian orangtua, seorang anak hendaknya menjaga badannya dengan baik. Ia hendaknya merawat kesehatan badan dengan makan makanan yang bergizi, hidup dalam keteraturan serta menghindari penggunaan narkoba atau sejenisnya yang dapat merusak tubuhnya.

Membahas tentang menjaga badan pemberian orangtua ini terdapat sebuah cerita menarik mengenai seorang panglima perang di jaman dahulu. Dalam sebuah peperangan, ia terkena panah tepat di bagian mata. Anak panah itu menancap erat di mata. Dengan sangat kesakitan, panglima perang itu mencabut anak panah tersebut. Namun, karena kuatnya anak panah menancap di mata, mata sang panglima pun ikut tercabut keluar. Sang panglima yang kesakitan ini kemudian menelan mata yang ada di ujung anak panah. Ia menelan biji mata tersebut sambil merenungkan bahwa ‘mata ini adalah bagian dari tubuh yang telah diberikan oleh orangtua saya. Saya tidak ingin membuang atau menyia-nyiakannya.' Kisah yang sangat luar biasa ini menunjukkan sedemikian besar penghormatan anak terhadap orangtuanya yang dilakukan dengan menjaga tubuhnya baik-baik.

Karena anak telah dilahirkan oleh orangtua, maka anak otomatis mempunyai kewajiban mendukung serta menghormat ayah dan ibu di saat mereka masih hidup maupun setelah mereka meninggal dunia. Kewajiban ini perlu dilakukan karena sejak lahir anak selalu dibantu oleh orangtua. Anak dibantu mendapatkan makanan, tempat yang hangat, dijaga ketika sakit, dirawat ketika masih belum mandiri, serta masih banyak tindakan lain yang dilakukan orangtua demi kebahagiaan anaknya. Menyadari hal ini, anak yang berbakti tentu akan bangkit semangat untuk membalas jasa orangtua. Ia akan malu jika tidak mampu melakukan kewajiban membalas jasa kebajikan yang telah dilakukan orangtua kepadanya selama ini.

Menurut Dhamma, orangtua sering disamakan dengan Brahma yang tinggal dalam rumah. Persamaan ini menunjukkan sedemikian tinggi penghormatan terhadap orangtua yang dianjurkan dalam Ajaran Sang Buddha. Seperti diketahui bersama bahwa Brahma adalah mahluk penghuni alam Brahma yang posisinya jauh lebih tinggi daripada para dewa dewi yang menjadi penghuni berbagai alam surga.

Sedemikian besar jasa orangtua terhadap anak sehingga disebutkan dalam Kitab Suci Agama Buddha, Tipitaka di bagian Anguttara Nikaya bahwa di dunia ini terdapat dua orang yang paling berjasa yaitu ayah dan ibu. Dikatakan dalam sutta tersebut bahwa meskipun sebagai anak selalu menggendong orangtuanya selama 100 tahun tanpa berhenti, namun kebajikan yang dilakukan anak tersebut belum mencukupi untuk membalas jasa kebajikan yang telah dilakukan orangtua terhadap anaknya. Akan tetapi, ketika anak mampu mengenalkan serta meyakinkan orangtua agar selalu melaksanakan Buddha Dhamma, maka jasa kebajikan anak mampu melebihi jasa kebajikan yang pernah orangtua lakukan terhadap anak. Pengenalan Dhamma yang dimaksud di sini adalah mengkondisikan orangtua mengerti dan melaksanakan kerelaan, kemoralan serta konsentrasi atau meditasi sehingga mereka mencapai kebijaksanaan. Lebih baik lagi kalau ayah dan ibu mampu mencapai kesucian atau Nibbana.

Upaya mengenalkan Dhamma kepada orangtua adalah upaya anak yang baik dan berbakti. Seperti disebutkan dalam Dhamma bahwa terdapat tiga jenis anak yaitu anak yang memiliki kualitas sama dengan orangtua. Anak yang kualitasnya lebih rendah daripada orangtuanya. Dan yang terakhir adalah anak yang kualitasnya lebih tinggi daripada orangtuanya.

Adalah wajar apabila anak ingin selalu lebih berkualitas daripada orangtuanya. Bahkan, hal inipun menjadi harapan hampir semua orangtua terhadap anaknya. Oleh karena itu, sebagai anak, ia hendaknya selalu berusaha meraih prestasi tertinggi di segala bidang yang positif. Semakin banyak hal positif yang dilakukan anak, semakin baik pula penilaian masyarakat terhadap anak dan orangtuanya. Pencapaian prestasi ini menjadi salah satu sarana anak mendukung, membahagiakan dan menjaga nama baik orangtua.

Apabila anak tidak mampu memberikan prestasi yang tertinggi, maka anak dapat pula memberikan perhatian kepada orangtuanya. Anak hendaknya berusaha semaksimal mungkin agar orangtua merasakan kebahagiaan dalam hidup mereka. Orangtua berbahagia karena mereka telah melahirkan anak yang berguna. Inilah sikap anak yang baik terhadap orangtuanya yang masih hidup. Sedangkan, apabila orangtua telah meninggal dunia, maka anak mempunyai kewajiban untuk melakukan pelimpahan jasa. Pelimpahan jasa adalah perbuatan baik yang dilakukan anak atas nama orangtua yang telah meninggal dunia.

Berbagai perbuatan baik dapat dilimpahkan jasanya kepada orangtua. Tindakan yang paling sederhana adalah membacakan paritta untuk kebahagiaan orangtua di alam kelahiran yang sekarang. Dalam Dhamma, membaca paritta juga termasuk kebajikan dengan badan, ucapan dan juga pikiran. Hal ini bisa dimengerti karena selama seseorang membaca paritta, seluruh perhatian dipusatkan pada pengulangan kotbah Sang Buddha. Pemusatan pikiran ini juga termasuk salah satu bentuk kebajikan. Selain membacakan paritta, anak juga bisa membagikan sebagian dari milik atau hartanya untuk para penghuni panti asuhan atau yayasan sosial lainnya. Anak dapat membagikan makanan, pakaian, obat-obatan serta berbagai kebutuhan lainnya atas nama orangtuanya yang telah meninggal dunia. Diharapkan, dengan berbagai kebajikan yang dilakukan ini, orangtua akan bahagia di alam kelahiran yang sekarang.

Dengan demikian, seorang anak setelah menyadari bahwa dirinya ada di dunia ini karena jasa kebajikan orangtua, ia hendaknya selalu berusaha membahagiakan orangtuanya ketika masih hidup maupun telah meninggal dunia. Dengan melakukan kebajikan seperti ini, anak sesungguhnya juga terkondisi untuk berbuat baik sehingga ia mempunyai kesempatan mendapatkan kebahagiaan. Begitu pula dengan orangtuanya, apabila mereka terlahir di alam yang sesuai, mereka dapat menerima pelimpahan jasa yang telah dilakukan secara rutin oleh anaknya. Oleh karena itu, menurut Dhamma, mendukung serta menyokong ayah dan ibu bisa dilakukan ketika mereka masih hidup atau sudah meninggal. Ketika mereka masih hidup, bantulah mereka dalam melakukan berbagai kegiatan sehari-hari. Rawatlah kesehatan mereka agar mereka bahagia. Bertindaklah yang baik sehingga orangtua bangga dengan anak-anaknya. Namun, setelah mereka meninggal dunia, anak harus tetap mengingat jasa orangtua dan melakukan upacara pelimpahan jsaa untuk mereka.

Inilah wujud bakti yang dapat dilakukan anak terhadap orangtuanya. Sesungguhnya, mendukung maupun menyokong ayah dan ibu adalah berkah utama karena dapat memberikan kebahagiaan untuk kedua belah fihak.